OPTIMALISASI LAHAN DENGAN POLA AGROFORESTRY
DI KTH NGGAYUH LESTARI
DESA BANARAN KECAMATAN PULUNG KABUPATEN PONOROGO
DI KTH NGGAYUH LESTARI
DESA BANARAN KECAMATAN PULUNG KABUPATEN PONOROGO
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kabupaten Ponorogo berada di lereng Gunung Wilis dengan luas Hutan Rakyat sebesar 22.000 Ha dengan komoditas tanaman yang
dominan antara lain sengon, gmelina, sono, mahoni, jati dan akasia. Dengan adanya hutan
rakyat yang demikian luas, menunjukkan adanya potensi ruang tumbuh yang dapat
dimanfaatkan untuk memberikan hasil sebelum kayunya diproduksi atau lebih
dikenal dengan pemanfaatan lahan di bawah tegakan. Permasalahan yang ada selama
ini adalah sebagian masyarakat belum mengetahui sistem dan pola penanaman agroforestry
serta manfaat ekonomi yang diperolehnya.
Agroferestry adalah suatu sistem pengelolaan lahan secara intensif dan mengkombinasikan tanaman kehutanan dan tanaman pertanian dengan maksud diperoleh hasil yang maksimal dari kegiatan pengelolaan hutan tersebut dengan tidak mengesampingkan aspek konservasi lahan serta budidaya praktis masyarakat lokal. (Anggraeni, I dan Wibowo, A, 2007).
Agroferestry adalah suatu sistem pengelolaan lahan secara intensif dan mengkombinasikan tanaman kehutanan dan tanaman pertanian dengan maksud diperoleh hasil yang maksimal dari kegiatan pengelolaan hutan tersebut dengan tidak mengesampingkan aspek konservasi lahan serta budidaya praktis masyarakat lokal. (Anggraeni, I dan Wibowo, A, 2007).
Dengan Penerapan sistem Agroforestry diharapkan
Kesejahteraan Petani akan meningkat seiring dengan adanya keaneka ragaman hasil
budidaya tanaman dibawah tegakan.
B. Rumusan Masalah
1.
Tingkat Pengetahuan
Petani tentang Pengelolaan Hutan Rakyat masih rendah.
2.
Lahan
dibawah Tegakan belum dimanfaatkan.
3.
Kesejahteraan
Petani Hutan Rakyat yang Masih Rendah.
C. Tujuan
1. Meningkatkan
pengetahuan petani tentang pola pengelolaan hutan rakyat berbasis Agroforestry
2.
Optimalisasi
lahan hutan Rakyat
3.
Meningkatkan
pendapatan petani hutan rakyat.
II.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan
Waktu Penelitian
Pengamatan dan penelitian tentang pengembangan
agroforestry dilakukan di KTH Nggayuh Lestari Desa Banaran Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo yang berada di lereng
Gunung Wilis pada sisi barat, dimana luas hutan rakyatnya seluas 265 Ha. Pengamatan dilakukan
selama Bulan Maret 2020.
B. Metode
Pengumpulan data dan analisis data
Metode yang digunakan dalam pengamatan dan penelitian
sebagai berikut :
1.
Wawancara/Interview
Wawancara langsung dengan petani hutan rakyat yang
menerapkan sistem agroforestry dalam pengelolaan hutan rakyat miliknya. Satu
lokasi diambil satu petani, diwawancarai langsung. Petani yang diwawancarai
adalah petani yang menerapkan sistem agroforestry.
2.
Pengamatan/observasi
Pengamatan langsung ke areal hutan rakyat. Yang
diamati adalah model agroforestry yang diterapkan di areal hutan rakyat petani
dengan menggamati model apa yang
diterapkan. Data yang diperoleh diolah secara sederhana, hanya menghitung biaya
yang dikeluarkan dan hasil yang didapat.
III.
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan rakyat merupakan salah satu
model pengelolaan sumber daya alam yang berdasarkan inisiatif masyarakat. Dalam
banyak contoh di daerah-daerah Indonesia, hutan rakyat banyak yang berhasil
dikembangkan oleh masyarakat sendiri. Sumbangan produksi kayu dari hutan rakyat
di banyak tempat di Jawa menunjukkan signifikansi yang sangat nyata. Tingkat
keberhasilan upaya untuk mendorong perkembangan hutan rakyat di Indonesia
justru lebih besar di program swadaya masyarakat daripada program program
penghijauan tahun 1970.
Pada umumnya
pengelolaan hutan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pengelolaan hutan
skala besar (large scale forestry)
dan pengelolaan hutan skala kecil (small
scale forestry). Pengelolaan hutan skala besar merupakan segala proses
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemilik modal untuk mengelola hutan
dengan skala besar, sedangkat pengelolaan hutan skala kecil merupakan segala
proses pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengelola hutan
dengan skala kecil. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
membagi hutan berdasarkan statusnya menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan
hak. Secara definisi pada pasal 1, hutan negara
adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah,
sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah.
Konsep
pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat dilakukan adalah dengan hutan
rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik dengan luas
minimal 0,25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan, dan atau
tanaman tahun pertama minimal 500 batang .
Salah
satu bentuk pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat adalah dengan teknik Agroforestry. Agroforestry adalah sistem usaha tani yang mengkombinasikan antara
tanaman pertanian dan tanaman kehutanan untuk meningkatkan keuntungan serta
memberikan nilai tambah. Agroforestry
sebagai bentuk usaha menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara
bersama-sama dengan tanaman pertanian dalam sistem yang memperhatikan
keberkelanjutannya secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana
agroforestry adalah menanam pohon dalam sistem pertanian. Dalam
satu kawasan hutan terdapat pepohonan baik homogen maupun heterogen yang
dikombinasikan dengan satu atau lebih jenis tanaman pertanian. Keuntungan yang
dapat diperoleh dengan cara ini adalah, masyarakat dapat mendapatkan hasil dari
lahan hutan tanpa harus menunggu lama tanaman hutan dapat dipanen karena dapat
memperoleh hasil dari tanaman pertanian baik perbulan atau pertahun tergantung
jenis tanaman pertaniannya. Selain itu produktivitas tanaman kehutanan menjadi
meningkat karena adanya pasokan unsur hara dan pupuk dari pengolahan tanaman
pertanian serta daur ulang sisa tanaman. Hal ini jelas sangat menguntungkan
petani karena dapat memperoleh manfaat ganda dari tanaman pertanian dan tanaman
kehutanan.
Agroforestry dapat diklasifikasikan
menjadi 5 yaitu:
1. Agrisilviculture
(komponen pertanian dan kehutanan)
2. Silvopature
(komponen kehutanan dan peternakan)
3. Agrosilvopasture
(komponen pertanian, kehutanan dan peternakan)
4. Silvofishery
(komponen kehutanan dan perikanan)
5. Agrosilvofishery
(komponen pertanian, kehutanan dan perikanan)
Adapun pola penggunaan ruang dalam
sistem agroforestry dapat dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Trees Along Border, yaitu model penanaman pohon di bagian pinggir dan tanaman
pertanian berada di tengah lahan.
2. Alternative Rows, yaitu kombinasi antara satu baris pohon dengan beberapa baris
tanaman pertanian secara berselang-seling.
3. Alternative Strips atau Alley Cropping, yaitu kombinasi dimana dua baris pohon
dan tanaman pertanian ditanam secara berselang-seling.
4. Random Mixture, yaitu pengaturan antara pohon dan tanaman pertanian secara
acak.
IV. RUMUSAN DAN ANALISIS
Kabupaten Ponorogo memiliki potensi hutan rakyat yang
besar yaitu sekitar 22.000 Ha. Pengembangan Pola Agroforestry dilakukan di KTH Argo Lestari Desa Banaran Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo dimana desa tersebut mempunyai Hutan Rakyat seluas 265 Ha yang berada di sisi barat Gunung Wilis. Pengamatan yang dilakukan
dilapangan pada petani hutan rakyat tidak semua lahan hutan rakyat dikelola
dengan pola agroforestry. Hal ini terjadi karena informasi dan pengetahuan
dengan pola agroforestry belum diketahui oleh petani.
Data yang diperoleh dari hasil wawancara ke petani
pengelola hutan rakyat yang menerapkan pola agroforestry dan tidak menerapkan
pengelolaan hutan rakyat dengan system agroforestry terdapat perbedaan tingkat
kesejahteraan dan pendapatan secara signifikan. Petani yang menerapkan pola
agroforestry hutan rakyatnya lebih lestari karena para petani mempunyai
pendapatan dari tanaman dibawah tegakan sebelum menebang pohon.
Agroforestry merupakan salah satu solusi dalam
meningkatkan petani pengelola hutan rakyat yang ada di Desa Banaran Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo. Faktor ekonomi merupakan prioritas petani dalam
pemilihan jenis tanaman dalam mengusahakan lahan agroforestri. Faktor ekonomi
berpengaruh langsung terhadap pendapatan petani. Faktor ekologi menjadi prioritas
setelah faktor ekonomi. Agroforestri yang diterapkan oleh petani hutan rakyat
di Kabupaten Ponorogo memberi dampak positif sebagai berikut:
A. Dampak
Ekonomi
1. Adanya
diversifikasi hasil yaitu hasil non kayu memberi keuntungan berupa pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek (mingguan, bulanan, tahunan)
2. Peningkatan
nilai per satuan luas.
3. Memberi
kontribusi dalam penyediaan tenaga kerja bagi masyarakat.
C. Dampak
Ekologi
1. Penutupan
lahan yang semakin luas yang efektif mencegah bencana alam.
2. Siklus hara
alami terjamin dengan tersedianya seresah yang cukup.
3. Membantu
sistem perakaran dalam menahan air sehingga proses hidrologi dapat berjalan
normal.
4. Menghasilkan
O2 dan mengikat CO2 sehingga pencemaran udara terkendali.
5. Berkontribusi
dalam pelestarian alam.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.
Pembangunan
Demplot Agroforestry dapat meningkatkan pengetahuan petani.
2.
Pemanfaatan
lahan dibawah tegakan semakin meningkat.
3.
Agroforestry
sebagai salah satu solusi meningkatkan kesejahteraan Petani.
B. Saran
1. Pembangunan demplot agroforestry perlu di perbanyak
untuk mempercepat prosestransformasi pengetahuan dan budaya petani.
2. Penangganan pasca panen hasil tanaman di bawah tegakan
agar harga tidak jatuh seiring meningkatnya produksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Anggraeni, I. dan Wibowo, A. 2007. Pengaruh Pola Tanam
Wanatani Terhadap Timbulnya Penyakit dan Produktivitas Tanama Tumpangsari.
Bulletin Info Hutan Tanaman, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar